Banner 468 x 60px

 

Ushul Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah Ijtihad, talfiq, taklid dan ittiba’. yang memiliki arti  dan maksud yang berbeda.  sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” 

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Ijtihad ?
2.      Apa yang dimaksud dengan taqlid, ittiba’ dan talfiq ?
3.      Bagaimana hukum-hukum dalam bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq ?
4.      Bagaimanakah pendapat ulama mengenai taqlid, ittiba, dan talfiq ?

C.     Tujuan
1.      Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
2.       Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan dosen pembimbing.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    IJTIHAD
a.       Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Kata Ijtihad, seperti dikemukakan al-Ghazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak disebut beijtihad jika hanya mengangkat hal-hal yang ringan seperti mengangkat sebiji sawi[1].
Dikalangan ulama Ushul Fiqh terdapat berbagai redaksi dalm mendifinisikan Ijtihad, namun intinya adalah sama. Sebagai contoh, Ibnu Abd al-Syakur,dari kalangan Hanifiyah mendifinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hokum-hukum syara’ samapi ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bias berupaya lebih dari itu.”
Sedangkan al-Baidawi (w.685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendifisikan nya sebagai: “pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hokum-hukum syara”. Lebih jelas lagi definisi ijtihad menurut Abu ZAhrah.Ahli  Ushul Fiqh yang hidup pada awal abad kedua puluh ini mendifinisikan ijtihad sebagai : “pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hokum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya”.  Pada ketiga definisi ini ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu adalah ahli fikih,yaitu Mujtahid, dan tempat menemukan hokum-hukum itu adalah dalili-dalil nya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan karena sudah dianggap dimaklumi bahwa orang yang akan melakukan ijyihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkat zhanni(dugaan kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih meyakinkan.

b.      Dasar Hukum Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melalukan ijtihad. Antara lain :
1.      Ayat 59 Surat an-Nisa:
Yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RAsul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlahn ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat kemudian. Yang demikian itu kebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan-kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah RAsulullah, seperti menyamakan hokum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebut dalam Al-Qur’an karena petrsamaan’ illatnya  seperti dalam praktik iqiyas(analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya[2]



2.      Hadist yang diriwayatkan dari Mu’az bin jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaa Rasulullah dengan apa ia memutuska hukum, ia menjelaskan secara  berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah RAsulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “segala pujian bagi Allah yang telah memberikan taufik atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasuln-Nya.hadist tersebut secara lengkap sebagai berikut:
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus MU’aZ ke YAman maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas apa Anda memutuska suatu persoalan,dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, NAbi betanya: “ kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?” , dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi : “ kalau tidak anda temukan dalam sunnah Rasulullah?”. Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “segala pujian bagi Allah yang telah member tawfiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR.Tirmizi)

c.       Fungsi Ijtihad
Ijtihad berfungsi baik untik menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis Mutaawatir sepeti hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hokum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan,dan maslahah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini yaitu pengembangan Prinsip-prinsip hokum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hokum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.

B.     TAQLID
a.       Pengertian Taqlid
Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ لاَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ الغَيْرِ دُوْنَ حُجَّتِهِ .
“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang diberikan oleh para ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan Qiyas.

b.      Hukum Taqlid
para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
a)      Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
b)      Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
c)      Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw[3]
c.       Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid
Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti pendapat orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut[4].
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:
1.      Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64 yang artinya:
Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam appi neraka, mereka berkata: “alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan Rasul. Dan mereka berkata; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami.”
2.      Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 165-166 yang artinya:
Di antara manusia ada yang mengikuti banyak ikatan selain Allah dan mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amatmencintai Allah. Sekiranya orang-orang yang  berbuat zhalim itu-ketika mereka melihat azab (di hari akhirat)- bahwa sesungguhnya kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, maka Allah sangat pedih siksanya. (yaitu) ketika orang-orang yang mereka ikuti berlepas diri dari mereka ketika melihat azab tersebut dan memutuskan segala hubungan.
3.   Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah Al-Taubah [9]: 31 yang artinya:
Mereka menjadika para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan.
Sehubungan dengan ayat di atas, ‘Adi bin Hatim berkata bahwa ia pernah datang kepada Rasulullah, padahal di lehernya tergantung salib. L alu Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Adi, lemparkanlah salib itu dari lehermu dan jangan kamu pakai lagi.” ‘Ya Rasul kami tidak menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.” Lalu Rasul berkata lagi ‘Bukankah kammu tahu bahwa mereka menghalalkan bagimu apa yang diharamkan Allah dan mereka mengharamkan atasmu apa yang dihalalkan Allah, dan kamu ikut pula mengharamkannya?
Ayat dan hadis di atas mengingatkan agar kita tidak mengikuti sesuatu yang memang sudah jelas salah, tapi karena ingin menghormati seseorang atau fanatik terhadap suatu golongan ataujuga karena mode, lalu diikuti juga. Hal ini sangat dicela oleh Allah[5].
Akan halnya orang awam yang memang tidak punya kesanggupan berijtihad sama sekali maka jumhur ulama ushuliyyin berpendapat wajibnya bagi setiap orang awam bertanya pada mujtahid. Hal ini didasarkan pada firman Allah surah Al-Nahl [16]: 43 “maka berrtanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya”.
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam. Bila pada suatu saat orang yang bersangkutan menemukan dalil bahwa apa yang ditaqlidinya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat yang ditaqlidinya tadi.
d.      Pesan Para Ulama mengenai Taqlid
a)      Imam Abu hanifah berkata :
Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadis Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata”.
b)         Imam Malik berkata :
Saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang salah dan kadang-kadang benar. Selidiki pendapat saya. Kalau sesuai dengan Qur’an dan hadis, maka ambillah. Yang menyalahi hendaknya tinggalkan”.
c)      Imam Syafi’i berkata :
perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu”.
d)     Imam ahmad bin Hanbal berkata :
jangan mengikuti (taqlid) saya atau malik atau Tsauri atau Auzai’i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil”.
e)      Ibnu Mas’ud berkata :
Kamu jangan menaqlidi orang. Kalau ia iman, maka kamu beriman. Kalau ia kafir, maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal-hal buruk”[6]

C.    ITTIBA’
a.       Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il“Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

b.      Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”[7]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud)

c.       Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti. Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1)      Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
2)      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan penyimpangan –penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba’ kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi’ tidak memenuhi syarat-syarat tertentu untuk berititba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian. Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan keyakinan akan menimbulkan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi’ yang bersangkutan boleh saja bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba’ tidak harus dilakukan kepada beberapa orang mujtahid ayau ulama. Mungkin dalam satu masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lai mengikuti ulama B.

D.    TALFIQ
a.       Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya[8]. Adapun “Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:
اَلْعَمَلُ بِحُكْمِ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ أَوْ أَكْثَر
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi’iy dalam masalah iddah wanita yang ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat. Yang demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.
Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.

b.      Hukum Talfiq
Para  ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau seseorang bertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa mereka.dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal memfatwakanfatwa merekabila tidak diketahui alasan-alasannya. Nereka juga memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.
Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa, semua itu menghendaki agar semua orang muslim supaya menjauhi diri dari “taqlid”, dan dengan sendirinya menghendaki supaya melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ber-ittba’, hal yang demiikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq.
Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq adalah dalam perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha muta’akhirin, adapun mereka yang fanatik pada mazhab, berfatwa bahwa para qadhi berhak menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang berpindah mazhab.
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat muta’akhirin yang terkuat adalah pendapat yang membolehkan talfiq atau ber-talfiq. Sedang perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut:
1.      Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik secara keseluruhan masalah, yakni dalam masalah berlainan, maupun dalam satu bidang masalah saja.
2.      Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di talfiqkan itu bukan dalam satu bidang masalah atau qadiah. Sebagai contoh misalnya, berwudhu menurut mazhab syafi’i, sedang pembatalannya menurut mazhab Hanafy. Atau menyapu muka daloam berwudhu menurut mazhab Syafi’iy, sedang mengusap rambut dalam hal berwudhu juga menurut mazhab Maliki.

E.     FATWA
a.       Pengertian Fatwa
Fatwa (dari bahasa Arab فتوى), artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya[9]
Fatwa dilihat dari segi etimologi berasal dari kata al fatwa wal futyaa (fatawaa) yang berarti petuah, nasehat jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.[10]
Sedangkan al- istifta’ berarti permintaan fatwa dan al-mufti adalah pemberi fatwa.[11]
Dari segi terminologi fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam.[12]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan/pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah.[13]
Fatwa juga dapat diidentikkan dengan ra’yu. Ra’yu didefinisikan sebagai pendapat tetang suatu masalah yang tidak diatur oleh al-Qur’an dan Sunnah. Ra’yu adalah pendapat yang dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai hasil pemikiran yang dalam dan upaya keras individu dengan tujuan menyingkapkan dan mencari pengetahuan tentang suatu subyek yang mungkin hanya menjadi pertanda  atau indikasi dari hal lain.[14]

b.      Tingkatan- tingkatan Fatwa
1.       Fatwa Rasullah SAW. sendiri;
2.        Fatwa para sahabat;
3.         Fatwa para tabiin;
4.        Fatwa para mujtahid;
5.        Fatwa para imam mazhab;[15]
Pada umumya sejak Islam masuk ke indonesia, maka umat Islam Indonesia adalah penganut mazhab Syafii. Namun demikian sejak munculnya ide-ide pembaharuan dalam dunia Islam (termasuk dalam masalah-masalah hukum), pengaruhnya juga sampai ke Indonesia. “Hal ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah (18 November 1912 M), Nahdhatul Ulama (1926) dan lain-lain.[16].
Dengan kata lain dapatlah dikatakan pada tahun-tahun berdirinya organisasi ini terjadi pergeseran sikap umat Islam dalam memahami hukum Islam. Kalau pada waktu sebelum adanya organisasi-organisasi ini, para ulama lebih terikat pada aturan-aturan mazhab Syafii saja misalnya, maka sejak munculnya organisasi-organisasi ini keterikatan kepada mazhab dirasakan melonggar. Oraganisasi-organisasi ini mempengaruhi faham hukum Islam yang dianut masyarakat.
Muhammadiyah misalnya, mempunyai Majelis Tarjih yang bertugas mentarjih masalah-masalah hukum Islam yang hasilnya disebarluaskan kepada umat untuk dijadikan pedoman. Begitu juga Nahdhatul Ulama mempunyai Majelis Syariah. Kedua badan ini dapat dikatakan sebagai Majelis Ifta atau Dar al-Ifta dalam kehidupan umat Islam Indonesia.
Selain badan-badan resmi dari organisasi-organisasi di atas, masalah fatwa dalam kehidupan umat Islam Indonesia juga muncul dalam bentuk fatwa perorangan. Peran ulama-ulama besar yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri sangat berpengaruh. Fatwa-fatwa mereka secara pribadi-pribadi dengan taat dan patuh diikuti oleh umat pendengarnya. Hal ini umumnya terdapat disetiap daerah, dengan kharismanya yang kuat ulama-ulama itu dengan tekun membimbing umat Islam untuk menjalankan hukum Islam itu dalam kehidupan mereka sehari-hari[17]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu mazhab dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
Fatwa adalah Fatwa (dari bahasa Arab فتوى), artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil penulisan makalah kami.



[1] Effendi Satria,Ushul Fiqih. (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 138.
[2] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 195.
[3] M. Saputra dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2006), hal. 109-110.
[4] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 195.
[5] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 134.
[6] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 196.
[7] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hal. 129-131
[8] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 209.
[10]Abdul Aziz Dahlan (Eds), Einsiklopedi Hukum Islam I(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999),Hlm  326.
[11]  Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: 1984), Hlm 326.
[12] Sudarsono. Kamus Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990), Hlm 127.
[13] Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Hlm 314
[14] Muctar yahahya ,dkk,Fiqih Islam,PT Alam’arif,,Bandung,1886,Hlm 407.
[15] Ibid,Hlm.14
[16] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980. Hlm. 23.
[17] Muhlis,kedudukan fatwa dalam islam,jurnal,tt,Hlm 21-22.

0 komentar:

Posting Komentar